Melestarikan Budaya Merawat Jiwa: Kisah Inspiratif Komunitas Sanggar Budaya Suluk Nusantara
- Version
- Download 4
- File Size 5.81 MB
- File Count 1
- Create Date September 15, 2025
- Last Updated September 15, 2025
Melestarikan Budaya Merawat Jiwa: Kisah Inspiratif Komunitas Sanggar Budaya Suluk Nusantara
Judul: Melestarikan Budaya Merawat Jiwa: Kisah Inspiratif Komunitas Sanggar Budaya Suluk Nusantara
Penulis: Wahyu Utomo & Melati ER
viii, 148 hal.
Sanggar Budaya Suluk Nusantara. Dari namanya penuh makna, bernilai filosofis. Suluk; istilah yang lazim terucap pada kalangan penganut Islam tradisional. Suluk secara harfiah bermakna jalan. Orang yang menempuh Suluk disebut hamba (saalik). Suluk dapat dimaknai sebagai upaya hamba mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta dengan memperbanyak ibadah yang bertujuan menyucikan diri dari berbagai bentuk kesalahan dengan memperbanyak zikrullah.
Dalam melaksanakan Suluk, para hamba dibimbing oleh guru yang lazim disebut mursyid. Mursyid membimbing para hamba untuk menjalani tahap demi tahap latihan (riadhoh). Tahapan yang umum dilakukan mulai pembersihan diri dari berbagai kesalahan (takholli) kemudian mengisi diri dengan hal yang positif (tahalli) dan pungkasan merasakan kehadiran Allah, Sang Pencipta dalam setiap tarikan nafas dan dalam segala aktivitas.
Sanggar Budaya Suluk Nusantara lahir dari sebuah tradisi Islam. Berawal dari zakat gamelan yang diserahkan oleh Dompet Dhuafa. Gamelan ini tidak datang tiba-tiba melainkan melalui sebuah proses hibah yang diberikan oleh Ibu Supartrusti Moelyono, seorang filantropis kepada Bapak Parni Hadi selaku inisiator Dompet Dhuafa sekaligus sebagai inisiator Sanggar Budaya Suluk Nusantara.
Gamelan merunut muasalnya, merupakan alat musik tradisional yang sudah ada sebelum zaman Mataram Kuno. Sebelum Walisongo menyebarkan/syiar Islam di pulau Jawa. Di masa silam gamelan merupakan alat hiburan para raja dan keluarganya.
Gamelan juga merupakan seperangkat instrumen, sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak.
Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem pada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis. Dikatakan demikian karena gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari dan ditekuni. Gamelan di masa syiar Islam digunakan oleh Raden Mas Sahid untuk dakwah, untuk sarana pendidikan, untuk media penerangan. Bahkan gamelan digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa setia kawan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan (Trimanto, 1984).
Ada cerita menarik dibalik zakat gamelan Sanggar Budaya Suluk Nusantara. Gamelan yang usianya sudah tua sempat tidak terurus dan dalam kondisi yang perlu segera direparasi. Sebelum singgah, menetap di Sanggar Budaya Suluk Nusantara, gamelan sempat berpindah-pindah mencari tuan-nya. Pun, setelah Pak Parni menerima gamelan, bingung akan diletakkan dimana.
Pak Parni bersahabat dengan seorang mantan wartawan senior yang juga pelestari budaya. Namanya Bapak Bambang Wiwoho, panggilan akrabnya Pak Wie. Pak Parni dan Pak Wie mendiskusikan perihal gamelan. Sayang jika tidak terawat dan bermanfaat. Dari diskusi intens keduanya, muncul gagasan untuk mendirikan sebuah sanggar. Singkat cerita pada 26 Agustus 2017 berdirilah Sanggar Budaya Suluk Nusantara.
Tak dinyana, kehadiran sanggar sangat dinanti. Wal bil khusus oleh para lansia. Sejak awal berdiri, Sanggar Budaya Suluk Nusantara sudah menasbihkan diri hadir untuk eksistensi para lansia. Kehadiran gamelan di dalam sanggar hanya sarana hiburan sekaligus komunikasi, sosialisasi antar lansia yang selama ini dicitrakan sepuh, sepi dan sepah. Dalam perjalanan-nya terbukti sanggar mampu menghipnotis para lansia, yang membuat hidup semakin hidup dan penuh makna.
Di sanggar mereka bergembira, berkeluh kesah, saling curhat. Sedangkan di rumah mereka semakin mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta.
Para lansia datang ke sanggar dengan persoalan dan masalah pribadinya masing-masing. Sebut saja Ibu Sukirmi sebagai penyintas cancer, Ibu Arini Titahati yang bersemangat dengan keterbatasan fisiknya, demikian hal nya dengan Pak Pramono yang kemanapun pergi dipandu tongkatnya, dan masih banyak lagi.
Setahun setelah berdirinya sanggar, pada 23 Maret 2018 dalam rangka melestarikan budaya dan menjaga nilai-nilai budi pekerti, dihadapan notaris dilakukan penandatanganan akta pendirian Yayasan Jaringan Suluk Nusantara. Hadir dalam momen tersebut Bapak Parni Hadi, Bapak Bambang Wiwoho, Ibu Hajjah Lili Chodidjah Wahid, Ibu Supartrusti Moelyono, Bapak Gunawan Sumodiningrat, Bapak Tosari Widjaya, dan Bapak Imam Rulyawan.
Lantas, apa hubungannya dengan Sanggar Budaya Suluk Nusantara? Keduanya bagai berkelindan. Misi berdirinya Yayasan Jaringan Suluk Nusantara tidak lain dan tidak bukan diantaranya adalah:
- Menggali, mengangkat, menghidupkan kembali, mengembangkan dan memasyarakatkan seni
budaya serta kearifan lokal Nusantara termasuk sastra-sastra Suluk yang mengandung nilai-nilai budi luhur, akhlak mulia dan ketuhanan.
- Menyelenggarakan berbagai telaah, kajian dan pentas, seni budaya serta kearifan Nusantara.
- Menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan dan latihan, baik secara sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan dan latihan yang ada.
- Membangun jaringan dan kerjasama kegiatan di segenap penjuru Nusantara.
Sebagai ejawantah dari misi tersebut dalam waktu-waktu ke depan Sanggar Budaya Suluk Nusantara tidak hanya ada di Beji, Depok seperti sekarang ini, namun juga hadir di penjuru negeri, dengan dukungan dari Dompet Dhuafa.
Di sewindu usianya, Sanggar Budaya Suluk Nusantara menghadirkan sebuah cerita dari para anggota yang dikemas dalam sebuah buku. Buku yang berjudul “Melestarikan Budaya Merawat Jiwa”.
Buku ini berisi tentang kisah hidup, cita dan cinta para anggota sanggar yang akan terus melestarikan budaya di sisa umurnya sekaligus memberikan kisah inspirasi bagi calon lansia dan generasi-generasi berikutnya bahwa budaya adalah jatidiri, budaya adalah cara terbaik kita sebagai manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta.
Attached Files
File | Action |
---|---|
Hal judull, balik hal judull, pengantar, daftar isi.pdf | Download |